Tulisan 6
ANALISIS EKONOMI
BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani
| Senin, 2 April 2012 | 03:42 WIB
Bustanul Arifin
Sebagaimana diketahui, harga eceran bahan bakar minyak
bersubsidi di dalam negeri tidak jadi naik pada awal April ini. Pemerintah
bersama parlemen telah menyetujui besaran baru Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan Tahun 2012 dengan defisit Rp 190 triliun (2,23 persen) jika
kelak harga BBM jadi dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter.
Keputusan politik yang diambil pada Jumat dini hari
itu akhirnya memberikan diskresi kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi apabila harga rata-rata minyak mentah
Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) mengalami perubahan lebih dari 15
persen dalam kurun waktu enam bulan. Dengan posisi harga ICP yang telah
melampaui 120 dollar AS per barrel, pemerintah mungkin akan menaikkan harga BBM
menjadi Rp 6.000 per liter pada Oktober 2012 jika harga ICP tetap bertahan
tinggi.
Di satu sisi, masyarakat mungkin dapat terhibur dengan
keputusan politik tersebut walaupun harga kebutuhan pokok sudah berangsur naik.
Namun, di sisi lain keputusan yang sebenarnya meningkatkan ekspektasi inflasi
(expected inflation) justru dapat memicu inflasi yang sebenarnya. Banyak analis
memperkirakan laju inflasi bulan Maret akan berada di atas 0,1 persen walaupun
musim panen padi telah dimulai. Laju inflasi tahunan 2012 ini akan berada di
atas 5 persen, apalagi jika harga BBM kelak jadi dinaikkan.
Telah banyak bukti teoretis dan empiris bahwa
ekspektasi yang lebih tinggi akan memengaruhi tingkah laku ekonomi yang
menimbulkan tambahan-tambahan biaya baru. Dengan perkiraan inflasi naik, yang
juga berarti menurunnya daya beli, masyarakat cenderung menanamkan modal pada
investasi jangka panjang, seperti tanah dan properti. Perkiraan inflasi ini pun
akan memperumit pengendalian harga, terutama pangan pokok, karena psikologi
pasar sudah telanjur memiliki gambaran tidak stabil atau negatif.
Pengalaman empiris pada 2011 juga menunjukkan bahwa
harga pangan dan kebutuhan pokok lain melonjak tinggi pada Juni-Agustus,
terutama karena ekspektasi inflasi menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri.
Sepanjang Juli 2011 itu, harga beras kualitas murah sampai sedang telah naik
melampaui 10 persen karena ekspektasi pedagang dan konsumen terhadap kenaikan
harga yang akan terjadi. Pada 2012 ini, laju inflasi diperkirakan naik juga
pada rentang musim kemarau tersebut karena panen padi telah selesai. Hanya
sejumlah kecil petani yang mampu melakukan penyimpanan untuk keperluan pada
musim paceklik.
Pada Senin ini, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan
laju inflasi bulan Februari, angka ramalan pertama produksi padi tahun 2012,
dan beberapa statistik penting lainnya. Sekitar 65 persen dari produksi padi di
Indonesia dihasilkan pada periode panen raya Maret-April ini dan 35 persen
sisanya pada panen gadu September-Oktober. Apabila produksi gabah kering giling
mampu lebih tinggi dari 65 juta ton, akan tebersit harapan baru untuk mencapai
target ambisius surplus beras 10 juta ton. Demikian pula sebaliknya, apabila
panen raya sekarang ini tidak menunjukkan kinerja yang spektakuler, harapan
untuk meningkatkan kesejahteraan petani tampak masih jauh dari kenyataan.
Dampak kesejahteraan petani
Kalangan awam pun paham bahwa ekspektasi laju inflasi,
apalagi jika disertai kenaikan harga BBM, akan menambah biaya pengeluaran
masyarakat, tidak terkecuali petani. Ukuran yang paling kasar seperti nilai
tukar petani pun telah menunjukkan kecenderungan memburuknya kesejahteraan
petani. Nilai tukar petani kumulatif pada Februari 2012 tercatat 105,1 (turun
0,60 persen) dengan gambaran tidak baik diderita petani padi (turun 1,02
persen), nelayan (turun 0,39 persen), dan petani hortikultura (turun 0,23
persen).
Persoalan klasik di lapangan belum dapat
ditanggulangi, seperti kenaikan harga faktor produksi pertanian, yaitu pupuk,
pestisida, upah buruh, sewa lahan, dan lain-lain, karena akses yang tidak
terlalu baik. Apalagi, dengan drama wacana kenaikan harga BBM satu-dua bulan
terakhir, petani dan nelayan semakin sulit memperoleh bahan bakar sekadar untuk
menyambung hidup karena spekulasi dan penimbunan yang marak terjadi. Tidak
terlalu aneh walaupun laju inflasi nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05
persen, laju inflasi di daerah pedesaan justru menembus 0,46 persen karena
semua indeks kelompok pengeluaran naik.
Tidak perlu disebut lagi bahwa penguasaan lahan petani
Indonesia sangat tidak merata karena sebanyak 53 persen dari 17,8 juta rumah
tangga petani padi-palawija hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang.
Petani skala kecil ini benar-benar menjadi salah satu kelompok yang sangat
rentan terhadap perubahan pengeluaran, apalagi jika harus menanggung tambahan
beban kenaikan harga BBM yang berwujud dari biaya transportasi, biaya produksi,
sampai pada kebutuhan sehari-hari.
Demikian pula dari 30 juta (12,5 persen) masyarakat
yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya adalah
penduduk pedesaan. Lebih memiriskan lagi, lebih dari 76 persen dari kelompok
miskin ini sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan, terutama beras. Artinya,
peluang terjadinya kemiskinan baru sangat besar apabila masyarakat kecil ini
memiliki ekspektasi laju inflasi yang cukup besar, terutama dari sektor pangan.
Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005 yang melonjakkan angka kemiskinan baru
sampai 3 juta orang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar
mempersiapkan penanganan dampak yang demikian masif.
Rencana strategi kompensasi dengan bantuan langsung
sementara masyarakat sebesar Rp 150.000 per bulan mungkin menjadi hiburan
secara politik, tetapi sangat jauh untuk menanggulangi dampak kesejahteraan
yang ditimbulkannya. Artinya, pemerintah masih memiliki waktu yang cukup untuk
secara serius menyempurnakan skema perlindungan yang memadai bagi petani,
nelayan, dan kelompok miskin lain.
Demikian pula Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012
tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah
mungkin menjadi panduan secara administratif bagi Perum Bulog. Namun, tingkat
kesejahteraan petani bukan persoalan administrasi belaka, melainkan persoalan
hidup riil yang memerlukan langkah pemihakan dan perhatian yang memadai. Di
sinilah sebenarnya harapan petani dan masyarakat banyak kepada penyelenggara
negara di Indonesia.
Kesimpulan
Kenaikan
harga BBM selalu disertai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan yang lain,
karena BBM merupakan faktor bahan baku yang utama bagi sektor industri.
Sehingga dampak kenaikan harga BBM pasti akan sangat dirasakan oleh masyarakat
luas, khususnya masyarakat kecil.
Untuk
menyiasati kenaikan harga BBM bagi para produsen adalah dengan cara makin kreatif,
mencoba memberikan nilai tambah produk dari aspek yang tidak menjadikan harga
naik, seperti aspek desain, model dan aplikasi yang menarik. Hal ini perlu
dilakukan agar harga produk tidak ikut naik terlalu tinggi.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar